Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof. Komaruddin Hidayat mengatakan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini sudah masuk pada wilayah moral yang dulu hanya bisa dijangkau oleh agama dan filsafat.
Komaruddin mencontohkan negara Selandia Baru dan negara-negara Skandinavia yang hidup damai, tentram, dan tingkat korupsi rendah, merupakan hasil dari pendekatan ilmu pengetahuan.
“Maka nanti pertanyaannya adalah kalau hal-hal yang normatif itu sekarang mulai dikenalkan oleh sains, kemudian ini akan menggerogoti agama? apa akan memperkaya agama? atau akan meningkatkan peran agama? Karena sepanjang sejarah manusia tidak bisa meninggalkan sains dan teknologi, malah semakin kokoh, di pihak lain tidak bisa meninggalkan agama. Pertanyaanya adalah apa yang distingtif pada agama?” kata Komaruddin saat menjadi narasumber dalam acara Ngabuburit pada Selasa (19/04/2022).
Secara sederhana, Komaruddin menjelaskan bahwa agama dalam kehidupan memberikan makna, moral dan akhlaq. Sedangkan ilmu pengetahuan memberikan kemudahan.
“Dan seni memberikan keindahan. Dengan seni hidup menjadi indah, dengan agama lebih terarah, dan dengan teknologi hidup menjadi lebih mudah. Kira-kira begitu jargonnya,” beber Komaruddin.
Namun, Komaruddin menegaskan hal tersebut pada praktektnya tidak mudah. Ia mengatakan, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seseorang bisa mengatakan dirinya tidak bisa hidup tanpa teknologi tetapi bisa hidup tanpa agama.
“Sehingga terjadi sebagian secara karikatural, orang yang sangat pro agama ketinggalan kemajuan, yang sangat maju meninggalkan agama,” lanjut Komaruddin.
Atas dasar itu, Komaruddin mengapresiasi kehadiran UICI yang mengusung semangat mengintegrasikan keislaman dan ilmu pengetahuan melalui filosofi keislaman, keindonesiaan, dan budaya digital.
Ia berharap, UICI mampu mendudukkan agama dan ilmu pengetahuan secara berdampingan, bukan berhadap-hadapan. Ilmu pengetahuan yang tidak menggerogoti agama dan agama yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan.
Tidak Ada Dikotomi Ilmu
Guru Besa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu juga mengkritik paradigma keilmuan kontemporer yang membagi ilmu menjadi dua, yakni ilmu umum dan ilmu agama.
Ia mengatakan dikotomi ilmu itu tidak ada di masa lampau. Ia mengatakan “Karena semua ini ciptaan Tuhan dan semua ayat-ayat Tuhan, hanya beda metodologinya saja”.
“Saya sendiri ketika belajar di pesantren itu tidak ada pelajaran agama. Ya semua itu agama. Ketika tidur pun itu aturan agama. Makan ajaran agama. Jadi gak ada waktu saya di pesantren, gak ada agama dan umum,” lanjutnya.
Ilmu Pengetahuan, dijelaskan Komaruddin, merupakan prestasi ikonik dari perkembangan sejarah peradaban Islam.
“Bukan fikih. Fikih sudah selesai. Kita tinggal ikut mazhab yang mana. Aturan-aturan normatif sudah selesai. Tetapi yang progresif, yang mesti kita perhatikan ulang adalah perkembangan sains,” kata Komaruddin.
Selanjutnya, Komaruddin menjelaskan ketika ilmu pengetahuan terlahir di dunia, maka ilmu pengetahuan itu tidak akan pernah mati. Ia akan mencari pengasuh yang akan membesarkannya. Para intelektual Islam berhasil melakukannya di abad pertengahan dengan melanjutkan tradisi keilmuan dari para filsuf Yunani.
“Siapa pengasuh yang membesarkan, maka ia akan berkembang pesat. Kebetulan, di abad tengah, yang bisa mengasuh warisan Yunani adalah intelektual dan ilmuwan Islam. Tapi kemudian ketika dunia Islam begitu maju dan sibuk dengan berbagai persoalan politik, benih pohon kelimuan itu kemudian diasuh ilmuwan eropa,” imbuh Komaruddin. (*)