Buruh, Indonesia dan Pancasila

Prestasi & Karya

Muhtar

Penulis: Muhammad Samsul Ma’arip – Mahasiswa Komunikasi Digital Batch 6

Kita semua tahu bahwa pada tanggal satu Mei, bukanlah sebuah hari biasa yang seperti kita lewati dihari-hari sebelummya, dimana di tanggal ini merupakan hari besar yang seluruh masyarakat dunia dengan libur nasionalnya sedang dalam rangka  memperingati hari Buruh sedunia atau yang lebih akrab dengan sebutan May Day. Dan tentunya kita selalu menyaksikan peringatkan  ini, baik di tv, dikoran, dijalan, maupun di kalender, dengan diikuti oleh peristiwa aksi damai yang dilakukan para buruh.

Dan alasan mengapa kita selalu memperingati hari buruh, bukan semata-mata menyerukan sebuah dies natalis atau perayaan lainnya, melainkan kita memperingatinya dalam rangka sebuah perjuangan para kalangan atau kelas buruh untuk menuntut berbagai hak dan ketidakadilan yang menimpanya.

Hari buruh sendiri pertama kali ditetapkan berangkat pada tahun 1886 1-4  mei, yang ditandai oleh ragedi Haymarket di Chicago, Amerika Serikat. Tragedi ini merupakan aksi demostrasi besar-besaran yang menuntut hak-hak buruh terkait jam kerja dan upah, hingga aksi ini menuai bentrok dengan kepolisian setempat serta memakan korban jiwa hingga luka-luka.

Atas tragedi ini, organisasi yang bernama ILO (International Labour Organization) atau organisasi buruh internasional yang didirikan pada tahun 1919, menetapkan 1 mei sebagai hari buruh internasional, atas penghormatan kepada para pejuang-pejuang buruh yang telah berguguran dalam menyuarakan hak-haknya.

Akan tetapi, apakah kalian tahu, bagaimana Sejarah terkait masyrakat Indonesia dalam menyikapi dan memperingati hari buruh ini sejak masa-masa kemerdekaan hingga sekarang?

Untuk menjawab ini, perlu saya ingatkan bahwa berbicara tentang buruh adalah sebuah soal yang memiliki relasi kuat terhadap Pancasila sebagai asas negara Indonesia, dan kaitan ini terdapat didalam sila kelima yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” juga  menjadi bagian integral dalam semangat dan tujuan yang terkandung dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Dengan kata lain bahwa Sejarah dan semangat tentang buruh adalah sejarah Perjuangan serta cita-cita bangsa.

Pada masa kemerdekaan, yaitu antara 1945-1965 (Orde lama), peringatan hari buruh selalu diikuti oleh aksi demonstrasi dan unjuk rasa besar-besaran dalam menyuarakan tuntutan buruh, itu sebabnya sejak awal kemerdekaan Indonesia, para kelas buruh selalu menyuarakan hak-haknya seperti Upah yang layak, jam kerja yang manusiawi, dan perlindungan pekerja terhadap kondisi kerja yang buruk.

Namun, citra kalangan buruh pada masa itu selalu dipengaruhi kuat oleh Partai Komunis Indonesia PKI, dan akibatnya PKI selalu aktif terlibat didalam gerakan buruh dan serikat buruh pada masa itu, walaupun kendati demikian beberapa kalangan buruh ada juga  yang terafiliasi oleh partai-partai lain seperti PNI Partai Nasional Indonesia dan NU Nahdatul Ulama, tetapi citra yang secara menonjol dimasa ini adalah PKI yang bersikap selaras terhadap cita-cita partainya sebagai implementasi dari memperjuangkan kelas buruh dan tani, atau perjuangan kelas, pada intinya dimasa kemerdekaan atau orde lama, dinamika gerakan buruh berada dalam masa kejayaannya dan selalu diidentikkan dengan warna politik mereka yang berbeda-beda dalam konteks keikutsertaan mereka didalamnya yang  merupakan pilihan jalan mereka dalam upaya perjuangan.

Lalu perubahan dimulai, diawali dengan runtuhnya pemerintahan presiden Soekarno (orde lama) yang diiringi oleh peristiwa kelam percobaan kudeta serta penculikan terhadap perwira tinggi Indonesia oleh kelompok angkatan darat yang terafiliasi dengan partai komunis Indonesia dan kemudian percoban kudetanya berhasil digagalkan oleh resistensi pihak militer yang menjadi titik awal dumulainya masa orde baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto.

Akibatnya dimasa ini, terjadi ketegangan politik yang sangat tinggi antara pemerintah dan PKI, dan hasilnya berdampak buruk bagi para kaum buruh dan gerakannya yang dipengaruhi oleh partai tersebut. Sentimen pemerintahan Orde baru terhadap PKI yang telah berdosa besar kepada negara berimbas pada kebijkan rezim yang mengatur tentang peringatan seremonial buruh yang selalu diawasi dan dijaga ketat serta pembatasan terhadap organisasi politik.

Bahkan temuan yang menariknya adalah, mengutip dari pemberitaan harian Kompas  pada 20 April 1968 yang berjudul “Hari Buruh 1 Mei Dihapuskan” didalam harian tersebut merekap sebuah  Surat keputusan presiden Soeharto no 148/68, menghapus hari burh 1 mei dengan alasan “sudah tidak lagi sesuai dewasi ini” (Situasi masa itu) dalam rangka penguatan kestabilan ekonomi dan politik nasional.

Kemudian perubahan gerakan buruh mulai kembali mendapat angin segar sejak di masa reformasi yang ditandai dengan dizinkannya Kembali dibentuk serikat buruh oleh presiden Abdurahman Wahid sebagai pemerintah sah waktu itu. Di masa ini aksi-aksi buruh Kembali mengalami revitalisasi, dimana aksi dan demonstrasi para buruh sudah menjadi lebih terbuka dan sangat vokal serta aktif dalam menyuarakan tuntutan mereka. Tuntutan yang sering disuarakan diera ini diantaranya adalah; perlindungan terhadap pekerja migran, upah minimum, dan perlindungan serta jaminan kerja.

Buruh dan Pancasila

Buruh dan Pancasila seperti yang sudah tertulis diatas bahwa relasi kuat diantaranya terdapat dalam asas negara kita yaitu Pancasila, disila ke lima. Akan tetapi, pada jalan sejarahnya implementasi ini tidak semulus dan konsisten sebagaimana bunyi silanya, melainkan masih harus terus diperjuangkan.

Dinamika yang sering kita temukan dalam rekam perjuangan buruh baik nasional dan internasional merupakan konteks pertarungan kelas, antara kelas pekerja (buruh) dengan kelas pemodal (pemilik produksi). Dimana posisi kelas buruh atau pekerja memgang peran vital dalam kemajuan ekonomi. Sedangkan para mereka pemilik produksi, memiliki konsekuensi keuntungan berkali-kali lipat dibanding pekerja kendati terdapat konsekuensi kerugian. Namun kelas pekerja atau buruh dengan keuntungan atau upah tidak seberapa,  sewaktu-waktu para pemilik modal bisa memecat mereka kapanpun mereka mau demi alasan agar tidak merugi. Disamping itu selain buruh yang saban hari menghadapi potensi pemecatan, pemotongan upah dan kebangkrutan Perusahaan, terkadang selalu terabaikan kondisinya dengan situasi yang tidak menentu.

Alhasil atas dinamika ini, patutlah jika para buruh selalu menuntut perlindungan dan pemenuhan hak mereka dalam Upaya perjuangannya. Dan aksi mereka menuntut dan meminta kepada negara, merupakan bentuk konkrit dalam implementasi sila ke lima serta sebaliknya,  negara sangat berhak untuk dapat memenuhi tuntutan-tuntutan para buruh yang sebagaimana terdapat dalam konsitusi serta bentuk bagian integral dalam semngat dan cita-cita bangsa.

Barangkali, apa yang kita lihat sekarang kondisi buruh, tidak seburuk pada masa tragedi Haymarket 1 mei, namun buruh tetaplah buruh, mereka yang selalu menghabiskan separuh umurnya bekerja dari pagi hingga sore, serta memiliki hunian sebesar toilet orang kaya, dengan ancaman Kesehatan yang memburuk, gejolak ekonomi dan kaum-kaum miskin yang menikmati isitirahatnya untuk tidur.

Diperparah yang saban hari sektor industri semakin berubah, ancaman kerja kontrak yang rentan, phk masal, pekerjaan manusia sudah banyak tergantikan oleh robot, gejolak politik dunia dan ancaman perang, seraya akan menjadi tjantangan dan acaman yang akan dihadapi di hari-hari kedepan ini.

Apa yang kita kenakan sekarang berupa pakaian, adalah hasil tenaga buruh, teknologi yang kita gunakan pun sama, dan hampir seluruh barang serta produk-produk lainnya merupakan jerih pekerjaan para buruh. Untuk itu, saya rasa kita tidak perlu membaca sejarah satu mei (may day) untuk memahami buruh dan seberapa penting mereka melainkan kita cukup merenungkan bagaimana seandainya jika semua buruh didunia berhenti bekerja selama seminggu, pasti dunia dan pemilik produksi akan rugi.

share :