Fenomena Viral dalam Kajian Teori Interaksi Simbolik #BahasTeori #Fenomena Citayam Fashion Week

Artikel-Jurnal & Riset

Nike Ardina

Head of Public Relations of Universitas Insan Cita Indonesia

Mengikuti perkembangan media sosial hari ini, tidak terlepas dari fenomena apa yang sedang menjadi perbincangan. Selalu ada pikiran, informasi, meme, konten, dan tren menjadi viral.  Konten-konten yang menjadi viral ini seringkali memiliki daya tarik tertentu yang membuat pengguna media sosial tertarik untuk membagikan ulang konten tersebut. 

Istilah viral berawal dari bagaimana virus dapat menyebarkan dirinya sendiri. Sehingga fenomena viral merupakan obyek atau pola berupa penggandaan diri yang mengubah obyek lain menjadi salinan dirinya, ketika suatu obyek terpapar dengan obyek tersebut. 

Kata kunci dari fenomena ini adalah tersebar dengan cepat dan menjangkiti populasi manusia. Namun pertanyaannya, kenapa manusia cenderung mengikuti apa yang menjadi tren di lingkungannya? 

Meskipun tidak ada rumus pasti yang bisa menjawab mengapa sesuatu menjadi viral dan faktor yang melatarbelakanginya. Namun untuk memahami fenomena ini, secara ilmiah dapat dilihat dari penerapan teori interaksionisme simbolik. 

Teori Interaksi Simbolik (Interaction Symbolic Theory) diperkenalkan oleh sarjana sosial George Herbert Mead sekitar tahun 1939. Teori ini diciptakan dari tradisi konstruktivis. Ia adalah seorang profesor filsafat di Universitas Chicago. Mead tidak pernah menulis secara sistematis teorinya. Namun kemudian teori ini ditulis ulang oleh para muridnya, dalam buku Pikiran, Diri, dan Masyarakat. 

Mead dalam teori ini menunjukkan kekagumannya atas kemampuan manusia dalam menggunakan simbol. Dua asumsi utama dalam teori ini adalah;

(1) orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul didalam sebuah situasi tertentu,

(2) Pikiran, konsep diri, dan lingkungan tempat kita tinggal diciptakan melalui komunikasi—interaksi simbolik. 

Interaksi simbolik bukan hanya verbal atau berbicara. Istilah ini mengacu pada bahasa dan gerak tubuh yang digunakan seseorang untuk mengantisipasi cara orang lain akan merespons. 

Interaksi simbolik ini didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain. 

Pokok pikiran Mead dalam menerapkan teori interaksi simbolik dalam memaknai bagaimana perilaku manusia dapat dilihat dalam tiga konsep kritis, yakni: 

  1. Pikiran (Mind

Menurut Mead, manusia memerlukan stimulasi sosial dan paparan sistem simbol abstrak untuk memulai proses pemikiran konseptual. Dalam pengertian bahwa pikiran seseorang akan muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial tersebut. Sehingga proses komunikasi seseorang dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan dalam diri individu, namun pikiran adalah fenomena sosial. Proses sosial mendahului pikiran, proses sosial bukanlah produk dari pikiran. 

Karakteristik utama dari pikiran adalah kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Melakukan sesuatu berarti memberi respon tertentu, dan bila seseorang mempunyai respon itu dalam dirinya, ia mempunyai apa yang kita sebut pikiran. Dengan demikian pikiran dapat dibedakan dari konsep logis lain seperti konsep ingatan dalam karya Mead melalui kemampuannya menanggapi komunitas secara menyeluruh dan mengembangkan tanggapan terorganisir. 

  1. Konsep Diri (Self

Konsep pemikiran Mead tentang pikiran juga melibatkan gagasannya mengenai konsep diri. Ia menyebutkan konsep diri sebagai bercermin dengan kaca mata. Konsep diri individu dihasilkan dari asimilasi penilaian orang lain yang signifikan. Interaksionis simbolik yakin bahwa diri adalah fungsi bahasa. Tanpa bicara tidak akan ada konsep diri. Kedirian dalam konsep Mead ini adalah bagaimana melihat diri seseorang dalam aktivitas hubungan sosial. Diri diartikan sebagai kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah objek dari sosial. Diri juga merupakan kemampuan khusus untuk menjadi subjek maupun objek. Dimana diri dibentuk dengan mensyaratkan proses sosial yakni komunikasi dan interaksi antar manusia. 

Menurut Mead adalah mustahil membayangkan diri yang muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial. Dengan cara ini Mead mencoba memberikan arti bahwa Diri adalah di mana orang memberikan tanggapan terhadap apa yang ia tujukan kepada orang lain dan dimana tanggapannya sendiri menjadi bagian dari tindakannya, di mana ia tidak hanya mendengarkan dirinya sendiri, tetapi juga merespon dirinya sendiri, berbicara dan menjawab dirinya sendiri sebagaimana orang lain menjawab kepada dirinya, sehingga kita mempunyai perilaku di mana individu menjadi objek untuk dirinya sendiri. Karena itu diri adalah aspek lain dari proses sosial menyeluruh di mana individu adalah bagiannya. 

  1. Masyarakat (Society)

Mead menggunakan istilah masyarakat (society) yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Di tingkat lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “aku” (me). Menurut pengertian individual ini masyarakat mempengaruhi mereka, memberi mereka kemampuan melalui kritik diri, untuk mengendalikan diri mereka sendiri. 

Mead dalam teori interaksi simbolik tertarik dengan bagaimana manusia menciptakan simbol – simbol dalam komunikasi dan interaksi. Kemudian menciptakan makna bersama. Hal ini dapat dipahami bagaimana dalam kasus viral terjadi, Citayam Fashion Week (CFW) misalnya. Bagaimana media sosial dan media massa kemudian memblow up tren baru anak muda dan membuat simbol baru. 

Dalam fenomena viral CFW ditemukan banyak simbol – simbol baru yang diciptakan dan meruntuhkan nilai lama yang dianggap sakral. Simbol – simbol budaya baru yang dikampanyekan dari CFW ini antara lain: 

  • Makna kata keren 

Meskipun pada awalnya kehadiran CFW mendapat cibiran, namun seiring perjalanannya mendapat banyak dukungan tidak hanya dari pemerintah, pekerja seni, hingga politisi, tapi juga dari akademisi. Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Derajat Sulistyo Widhyarto mengatakan bahwa tren ini adalah pembentukan budaya baru yang memberikan efek positif pada pembentukan youth culture. Dengan ciri khas tersendiri. 

Makna kata keren pun bergeser. Kehadiran Bonge, Roy, Kurma, dan Jeje sebagai tokoh sentral dengan gaya mereka yang urakan, eksentrik, terkesan jorok justru menjadi makna keren baru. Apalagi dengan banyaknya dukungan dari pesohor dan masyarakat luas. Simbol remaja keren yang tidak hanya anak – anak muda berprestasi di olahraga, good looking, rapi, dan fitur lainnya bergeser dengan alternatif budaya baru ini. 

  • Konsumerisme 

Media massa melalui sinetron, program acara, dan figur yang ditampilkan banyak menghadirkan gaya hidup hedon atau konsumerisme tanpa batas. Kemudian konsumerisme juga diperkuat dengan hadirnya para konten kreator dari kelas menengah atas yang menyajikan konten tentang kemewahan, seperti Sisca Kolh, Sultan Andara, sembilan sultan Indonesia, dan sebagainya. 

Kehadiran CFW dengan kesederhanaan – dalam artian kemiskinan dari kelas menengah kebawah, kreatifitas anak pinggiran, yang hidup di jalanan, nongkrong di perempatan, dan anker – istilah untuk pengguna kereta listrik di ibukota, memberikan alternatif baru. Bisa dikatakan fenomena CFW adalah ajang remaja pinggiran untuk berekspresi, meskipun kemudian banyak kalangan upper class memanfaatkan ruang ini. 

  • Pelanggengan bahasa kasar 

CFW dengan salah satu tokoh sentral Jeje memperkenalkan kata “Slebew” yang juga viral dan diikuti oleh banyak orang. Padahal makna dari kata Slebew sendiri seperti dikutip dari beberapa sumber adalah kata yang bermakna jorok atau berkaitan dengan seks. Kata Slebew juga diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi RI pada 1 Agustus 2022. Pakar anak – anak, kak Seto juga menyampaikan bahwa kata Slebew ini tidak boleh digunakan pada usia tertentu.

Sumber: 

Griffin, Em,  a First Look at Communication Theory, (New York, 2009), E-book, 10th Edition 

 

share :