Mengenal Sosok Fatmawati, Penjahit Bendera Merah Putih

Artikel

Muhtar

Salah satu sosok penting dalam sejarah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah Fatmawati. Berkat keuletan tangannya, Merah Putih berkibar di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta

Di tengah kondisi yang sedang hamil tua, Fatmawati dengan penuh keikhlasan menjahit bendera merah putih. Tidak jarang, di tengah aktifitas menjahit itu, ia menitikkan air mata.

Pada saat itu, Fatmwati tengah mengandung putra sulungnya, Guntur Soekarnoputra.

“Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah Putih, saya jahit berangsur-angsur dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangan saja, sebab Dokter melarang saya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit,” Fatmawati sebagaimana yang ditulis oleh Bondan Winarno dalam buku Berkibarlah Benderaku Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka.

Kehidupan Awal

Fatmawati lahir pada 5 Februari 1923 di Bengkulu. Ayahnya Bernama Hasan Din, merupakan salah seorang pengusaha dan tokoh Muhammadiyah di Bengkulu. Sementara ibunya Bernama Siti Chadijah merupakan keturunan Kerajaan Indrapura.

Mengutip dari Kompas.com, Hasan Din sebenarnya menyiapkan dua nama untuk Fatmawati. Nama pertama, Fatmawati, artinya bunga teratai yang harum. Sementara nama kedua adalah Siti Zubaidah.

Pada akhirnya, Fatmawati dipilih untuk nama anak pertama Hassan Din.

Pada usia enam tahun Fatmawati belajar di Sekolah Rakyat, kemudian melanjutkan ke sekolah dasar berbahasa Belanda, Hollandsch – Inlandsche School (HIS).

Status ayahnya yang pernah menjadi pegawai pemerintah kolonial, memungkinkan Fatmawati melanjutkan sekolah di HIS.

Sedari kecil, Fatmawati hidup dengan tradisi keagamaan yang kuat. Selain belajar agama dan mengaji, ia juga aktif di Nasyiatul Aisyiyah, sebuah organisasi remaja putri yang berada di bawah naungan Muhammadiyah.

Pertemuan dengan Sukarno

Dijelaskan oleh Agus Setiyanto, Sejarawan dari Universitas Bengkulu, pertemuan Fatmawati dengan Sukarno terjadi saat sang Putra Fajar diasingkan di Bengkulu pada tahun 1938-1942.

Saat itu, Sukarno tidak sendiri, tetapi Bersama Inggit Garnasih, anak angkatnya, Ratna Djuami, dan orang kepercayaan Bung Karno saat diasingkan di Ende, Nusa Tenggara Timur, (1934-1938), yakni Dirham dan Riwu.

Menurut Agus, Sukarno tertarik kepada Fatmawai karena kecerdasannya.

”Walau masih muda, Fatmawati dapat mengimbangi pembicaraan dari Soekarno,” kata Agus.

Fatmawati menikah dengan Sukarno pada tanggal 1 Juni 1943. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai lima orang putra dan putri, yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.

share :