Semua kader dan alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tentu mengenal sosok Lafran Pane. Ia adalah salah satu pendiri HMI dan bergelar pahlawan nasional.
Semua itu bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi pada 5 Februari 1947 di Gedung Sekolah Tinggi Islam (STI-sekarang UII) di Jl. Pangeran Senopati 30, Yogyakarta.
Pada saat itu, Lafran Pane, mahasiswa STI, meminta izin kepada dosen pengajar kuliah Tafsir, Husein Yahya, untuk menggunakan jam pelajarannya sebagai rapat mahasiswa. Pada rapat itu diputuskan lahirnya HMI.
Selain Lafran, ada 14 mahasiswa lain yang mengikuti rapat tersebut. Sejarahwan HMI, Agussalim Sitompul, dalam Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975) sebagaimana dikutip dari tirto.id menyampaikan bahwa mereka termasuk dalam jajaran pendiri HMI.
Gagasan Lafran Pane saat mendirikan HMI cukup dominan. Tujuan HMI yang disepakati pada 5 Februari 1947, yaitu “Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam”, adalah buah dari pemikirannya.
Sujoko Prasodjo dalam salah satu tulisannya menyebut tahun-tahun permulaan HMI hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane.
Biodata Lafran Pane
Menurut catatan Hariqo Satria Wibawa, Lafran Pane lahir pada 5 Februari 1922 di Kampung Pangurabaan, Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Lafran lahir dari keluarga penulis dan aktivis.
Ayahnya bernama Sutan Pangurabaan Pane, seorang jurnalis dan sastrawan, pendiri dan pemimpin Surat Kabar Sipirok-Pardomuan. Selain itu, Sutan Pangurabaan juga dikenal sebagai seorang guru dan pendiri Muhammadiyah di Sipirok pada 1921.
Sementara itu, dua kakak Lafran, Sanusi Pane dan Armijn Pane adalah sastrawan terkenal. Jejak karya dua tokoh tersebut bisa kita lacak dengan mudah di toko buku, perpustakaan, atau internet.
Sebagai anak dari tokoh Muhammadiyah, Lafran memulai pendidikan di Pesantren Muhammadiyah Sipirok. Lafran kerap berpindah-pindah sekolah hingga tingkat menengah.
Akhirnya, Lafran Pane meneruskan sekolahnya di kelas tujuh di HIS Muhammadiyah, kemudian melanjutkan sekolahnya di Sekolah Tinggi Islam.
Sebelum lulus dari STI, Lafran berpindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada April 1948 yang sekarang bernama Universitas Gadjah Mada.
Pahlawan Nasional
Gelar kepahlawanan Lafran Pane diberikan pada tahun 2017 berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/TAHUN 2017 tanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Pemberian gelar tersebut merupakan hal yang pantas mengingat kiprah dan perjuangan Lafran mulai dari pergerakan pemuda pada zaman kemerdekaan hingga mendirikan organisasi HMI.
Melansir dari antaranews.com, Lafran saat masih pemuda ikut terlibat dalam penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok bersama pemuda lainnya untuk mempersiapkan proklamasi.
Setelah itu saat ibukota negara pindah ke Yogyakarta, Lafran muda juga ikut pindah dan menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Islam. Di situ, Lafran ikut terlibat dalam Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY).
Lafran tidak cocok dengan PMY, mengingat organisasi itu tidak memiliki fondasi Islam. Lafran pun keluar dan mendirikan HMI dengan landasan yakni mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mengembangkan ajaran Islam.
Karya
Melansir dari kompas.com, Lafran Pane juga terkenal dengan berbagai karya tulis yang ia ciptakan sendiri dalam bentuk artikel bebas, yaitu:
- Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia
- Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
- Kedudukan Dekret Presiden
- Kedudukan Presiden
- Tujuan Negara
- Kembali ke Undang-undang Dasar 1945
- Kedudukan Luar Biasa Presiden
- Kedudukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
- Memurnikan Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945
- Memurnikan Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945
- Perubahan Konstitusional
- Menggugat Eksistensi HMI.