Sejarah Proklamasi Kemerdekaan 15 Agustus di Cirebon

Artikel

Muhtar

Sebuah tugu berwarna putih di perempatan Jalan Siliwangi, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon, itu menjadi saksi bahwa kemerdekaan Indonesia pernah diproklamirkan sebelum 17 Agustus 1945.

Pada 15 Agustus 1945, di tugu tersebut, dokter Sudarsono membacakan teks proklamasi. Sudarsono merupakan Menteri Dalam Negeri Indonesia pada Kabinet Sjahrir II dan ayah dari mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono.

Sekitar 150 orang hadir di Alun-alun Kejaksaan menjadi saksi dari peristiwa bersejarah itu. Kebanyakan dari mereka adalah anggota PNI Baru atau anak buah dari Sjahrir.

Peran Sjahrir

Peristiwa 15 Agustus 1945 itu bermula dari kabar menyerahnya Jepand kepada Sekutu 14 Agustus 1945. Sjahrir yang mendengar kabar tersebut melalui radio segera menemui Hatta.

Hatta saat itu baru saja tiba dari Vietnam. Ia, bersama Sukarno dan KRT Radjiman Wediodiningrat bertemu dengan panglima Tertinggi Jepang untuk Asia Tenggara, Marsekal Terauchi.

Di rumah Hatta, selain ingin mengabarkan penyerahan Jepang kepada Sekutu, Sjahrir juga ingin mendapat kabar pertemuan di Vietnam.

Sjahrir mendapat kabar dari Hatta bahwa kemerdekaan Indonesia tinggal menghitung hari dan menunggu waktu yang tepat.

Namun, Sjahrir tidak percaya dengan cerita Hatta tersebut. Menurutnya, itu adalah muslihat Jepang, karena penyerahan itu bisa setiap Waktu diumumkan.

Kemudian Sjahrir mengusulkan kemerdekaan diproklamasikan secepatnya. Hal itu juga untuk menghindari pandangan bahwa kemerdekaan itu hadiah dari Jepang.

Hatta terkejut mendengar penjelasan Sjahrir. Ia pun mengajak Sjahrir ke rumah Sukarno untuk memperbincangkan masalah ini.

Seperti diketahui, Sjahrir merupakan tokoh yang sangat anti Jepang, termasuk dalam urusan kemerdekaan.

Sebelum Sukarno berangkat ke Vietnam, ia mengatakan bahwa Jepang telah takluk kepada Sekutu. Oleh karena itu kepergiannya bersama Hatta dan KRT Radjiman Wediodiningrat tidak ada manfaatnya.

Apalagi Jepang telah luluh lantak karena bom atom Sekutu pada 6 Agustus 1945.

Sikap Sjahrir ini berbeda dengan Sukarno. Bahkan, Sukarno mengajak Sjahrir keliling Jakarta, untuk menjelaskan situasi bahwa tidak ada tanda-tanda Jepang Menyerah.

Proklamasi 15 Agustus

Hatta kemduian mengajak Sjahrir menuju rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Menteng. Di rumah itu, Hatta dan Sjahrir menyampaikan kondisi Jepang yang telah menyerah kepada sekutu.

Dalam pertemuan itu, Sukarno berjanji akan mengumumkan proklamasi kemerdekaan pada 15 Agustus 1945 pukul 17.00 WIB.

Setelah pertemuan itu, Sjahrir segera menginstruksikan para pemuda mempercepat persiapan demonstrasi. Instruksi itu mendapat respons baik dari para pemuda.

Pada 15 Agustus sore, ribuan pemuda telah berkumpul di pinggir kota Jakarta. Mereka bersiap masuk Jakarta setelah proklamasi.

Sesuai dengan instruksi Sjahrir, para pemuda akan langsung berdemonstrasi di Stasiun Gambir, merebut Domei dan Gedung Kempetai.

Namun, ribuan pemuda itu dibuat kecewa. Bukan kabar proklamasi kemerdekaan yang didengar, melainkan penundaan proklamasi.

Hal ini membuat para pemuda marah. Mereka mendesak agar proklamasi kemerdekaan segera dilakukan tanpa Sukarno-Hatta, namun Sjahrir tidak setuju.

Kabar penundaan itu ternyata tidak sampai di Cirebon. Para pemuda di bawah pimpinan dokter Sudarsono itu pun mengumumkan proklamasi kemerdekaan.

Sayangnya, naskah proklamasi 15 Agustus itu hingga kini tidak diketahui keberadaannya.

Dalam buku “Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil” yang diterbitkan Tempo, Des Alwi mengatakan ia hanya mengingat sebaris teks proklamasi versi kelompok gerakan bawah tanah, ‘Kami bangsa Indonesia, dengan ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, karena kami tak mau dijajah dengan siapa pun juga’.

Sementara Rudolf Mrazek dalam bukunya, “Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia” mengatakan bahwa Sjahrir mengaku kehilangan teks proklamasi yang disimpannya.

Sjahrir mengatakan teks proklamasinya diketik sepanjang 300 kata. Teks itu bukan berarti anti-Jepang atau anti-Belanda.

“Pada dasarnya menggambarkan penderitaan rakyat di bawah pemerintahan Jepang dan rakyat Indonesia tidak mau diserahkan ke tangan pemerintahan kolonial lain,” kata Mrazek mengutip perkataan Sjahrir. Tapi Sjahrir pun mengaku kehilangan teks proklamasi yang disimpannya.

 

share :