Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, manusia, pada satu sisi bisa dengan mudah melakukan sesuatu, tetapi di sisi lain, masalah tentang perilaku manusia semakin hari semakin rumit.
Penulis buku Tuhan dalam Otak Manusia, Dr. dr. Taufik Fredrik Paseak, mengatakan ini adalah sebuah ironi.
Ia mengungkapkan penelitian tentang sesuatu di luar manusia semakin meningkat tetapi penelitian tentang manusia itu sendiri masih sangat minim.
“Ini suatu ironi. Perkembangan luar biasa dalam bidang upaya manusia menelusuri universum ini sampai paling jauh, paling dalam, paling luas, itu tidak dibarengi dengan penemuan-penemuan yang luar biasa dalam aspek batiniah,” kata Taufik dalam acara public lecture dengan tema Faith in the Human Brain yang diselenggarakan pada Sabtu (13/05/2023).
Ia menjelaskan seturut dengan banyaknya penemuan-penemuan baru yang dilakukan oleh manusia, tingkat depresi atau penyakit jiwa yang lain justru meningkat.
“Hal itu terjadi karena makro kosmos tidak sejalan dengan mikro kosmos,” lanjutnya.
Ironi tersebut pelan-pelan mulai disadari oleh para peneliti. Menurut Taufik, sejak tahun 1975 hingga sekarang, penelitian tentang spiritiualitas mengalami peningkatan.
Menurutnya, hal ini merupakan kabar yang menggembirakan mengingat spiritualitas merupakan aspek yang sangat penting bagi manusia.
“Hari ini perang makin banyak. Konflik makin banyak. Teknologi tidak bisa menyelesaikan. Maka orang-orang mulai menoleh pada aspek-aspek batiniah. Covid-19 memberikan pelajaran bagi kita,” kata Taufik.
Persepsi tentang Tuhan
Selanjutnya, Taufik menjelaskan tentang keberadaan Tuhan dalam otak manusia. Tuhan di sini bermakna metafora, bukan fisikal.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Newberg, persepsi manusia terhadap Tuhan itu berbeda-beda. Persepsi itu ternyata berdampak terhadap kesehatan dan penyakit manusia.
“Ternyata Newberg ini mengelompokkan, ternyata kita punya Tuhan yang satu tapi begitu Tuhan masuk di kepala kita untuk kita pahami ternyata Tuhan lebih dari satu,” tutur Taufik.
Dari riset Newberg tersebut, ada lima macam persepsi manusia tentang Tuhan. Pertama, authoritarian God. Taufik menjelaskan Tuhan jenis ini adalah Tuhan yang otoriter, memberikan rasa takut, seperti adanya bencana alam.
Implikasi dari persepsi ini adalah pemahaman agama yang kaku dan berpotensi para penganutnya menjadi teroris.
“Sehingga apa pun yang dilakukan oleh manusia yang salah maka orang yang percaya pada Tuhan yang penghukum ini akan menghukum orang lain. Ia merasa menjadi the warrior of God, prajurit Tuhan,” ungkap Taufik.
Namun, di sisi yang lain, kepercayaan terhadap persepsi adalah menghindarkan manusia pada perilaku buruk karena takut dengan hukuman Tuhan.
Kedua, lanjut Taufik, adalah otherness God, yaitu Tuhan yang jauh dari manusia sehingga susah untuk dijangkau. Ketiga, benevolent God, yaitu Tuhan yang penuh kasih sayang, lembut, dan pemaaf. Orang-orang yang percaya pada jenis persepsi biasanya lebih ramah.
Namun sisi negatifnya, orang-orang yang percaya pada persepsi ini cenderung menganggap remeh perilaku yang melanggar aturan agama.
“Tuhan itu maha pengampun sehingga kalau saya melakukan kesalahan, mencuri, korupsi, Tuhan akan mengampuni. Ini sisi jeleknya,” jelas Taufik.
Kemudian yang keempat adalah critical God. Dalam perspektif ini, Tuhan tidak campur tangan dengan keadaan dunia.
Kelima adalah Atheist. Dalam perspektif ini, Taufik menjelaskan Tuhan memiliki sedikit makna dalam kehidupan.
Dampak Agama untuk Kesehatan
Lebih lanjut, Taufik menjelaskan dampak agama kepada kesehatan. Ia mengungkap sebuah penelitian di mana agama memberikan dampak kepada tiga aspek, yaitu mental, sosial, dan perilaku.
“Orang yang melakukan behaviour agama, berdoa, puasa, berkumpul dengan komunitas, berzakat, berhaji, itu menurut riset ternyata luar biasa hidupnya,” ungkap Taufik
“Lihat fisiknya, imunitasnya lebih baik, mortality dari kanker lebih rendah, tekanan lebih rendah, stroke lebih rendah,” tambahnya.
Lalu kenapa banyak konflik atas nama agama? Taufik menjelaskan hal itu terjadi karena manusia melihat agama tidak pada jantungnya.
“Orang lebih menonjolkan pada aspek-aspek yang bersifat practise. Ya kalau pada aspek practise agama itu akan banyak menunjukkan perbedaan,” jelas Taufik. (*)